Roman 2 Saudara

Jelang runtuh sempurnanya mentari, diselimuti awan jingga yang menggelap, perlahan menyusutkan hiruk pikuk jalanan... Sungguh suasana yang indah, tapi suram bagi sebagian hati yang kehilangan bahagianya...
 Sebuih air jatuh dari langit seakan pertanda sebentar lagi hujan...

Aku melangkahkan kaki tergesa-gesa. Basah air tak terelak masuk lewat sekecil apapun sela di sepatuku. Kanan-kiri, menjalari jari-jari kaki. Dingin menyeruak. Tulang-tulang dan sendi-sendi mengisyaratkan beku yang tidak bisu...

Sampai pula aku disebuah gan kecil dengan rumah berjajar nampak tak begitu rapi, aku coba mengamati barangkali masih ada pintu yang
terbtka agar aku bisa lontarkan senyum pada penghuninya. Awalnya kutemukan pintu terbuka, kucoba berikan senyum pada seorang ibu berparas gemuk yang sedang asyik menonton televisi di ruang tamu. Ah.... Dia hanya membalas senyumku dengan tatapan sinisnya...

Kulanjutkan langkahku, kutemukan lagi rumah dengan pintu terbuka dengan seorang wanita muda yang sedang menikmati segelas tehnya, kulontarkan senyum, tetap sama... hanya tatapan sinis yang aku dapat, begitu pula dengan rumah ke-tiga, ke-empat, ke-lima, mereka tetap memandangiku sinis.... Hingga sampailah langkahku pada sebuah rumah sederhana ber-cat warna senja. Ya, inilah rumahku yang sudah lama aku tinggalkan bersamanya seorang adik beliaku.

Hatiku bagai tersayat tatkala melihat para tetanggaku yang sedari tadi terus menatapku sinis. Ah, sialan. Ternyata mereka masih serupa dengan 4 tahun lalu, sebelum aku meninggalkan adikku seorang diri bersama rumah sederhana ini. Mereka menganggapku sebagai Aib di kampung ini, mungkin mereka masih jijik padaku, atau mungkin menganggapku sudah gila???? 

Ya, aku ingat dulu sebelum aku pergi meninggalkan kampung penuh ibu-ibu bermulut suar yang panasnya mampu membakar hati pendengarnya.

Aku memang tinggal disini hanya berdua dengan adikku yang saat itu masih duduk di kelas 9, ya kami memang berasal dari keluarga yang hancur atau biasa disebut broken home. Ayah dan Ibuku berpisah sejak usiaku 13 tahun, bisa jadi inilah yang membuat kami berdta dipandang sebelah mata oleh warga di kampung sialan ini.

Untuk mengisi hari-hari yang sepi dan menjemuhkan, aku dan adikku sering sekali mengajak teman-teman kami untuk bermain bahkan menginap dirumah kami. memang mayoritas temanku adalah mereka yang bernasib serupa denganku, penampilan mereka tak ubahnya diriku. Seringnya ber-keruntang-pukang, pakaian yang serba hitam seolah mengisyaratkan duka cita mendalam di hati kami masing-masing. Terkadang hanya musik keras yang dapat sedikit menghibur kedukaan kami. Mungkin, rumah ini sering disebut sebagai sarang orang aneh oleh warga sekitar. "Ahhh.. Bullsh*t... Siapa mereka?? Aku tak pernah minta apapun pada kalian??? Kalian bukan orang yang menghidupi kami....!!! hanya tetangga yang penuh celotehan basi.." hampir setiap hari emosiku menjadi-jadi.. 

"Kenapa kalian menghakimiku seperti orang gila yang membuat anak kalian menangis??" 
"sampai sebegitunya kah diriku??"
tanyaku dalam hati

Baiklah aku mengalah, aku memang orang gila yang terlalu gila untuk menjadi  kumpulan orang gila seperti kalian yang hanya memandang kami dengan mata tertutup kalian..

Rumah ini seolah mengerti akan kekalutan kami, seolah lantai putih ini tak mampu menampakkan kemilaunya yang di selimuti nestapa. Rsanya rumah ini juga akan menangis andai saja dia bisa menangis.

Lamunan singkat itulah yang terjadi sebelum meninggalkan kampung kumal penuh wanita ber-lidah liar ini..

Lamunanku larut ketika peluhku menetes tatkal melihat sosok adikku.

"Tak ada yang berubah disini" tiba-tiba adikku mengawali ucapannya.
"Iya dik, aku sudah rasakan sedari masuk gang tadi" sahutku

Aku kasian melihat adikku seorang diri, sebenarnya aku ingin mengajaknya kemanapun aku pergi, tapi apalah daya ketika uang yang kukantongi belum cukup untuk menghidupi kami berdua. Sampai sekarang Ibuku lah yang membiayai sekolah adikku. Aku juga kasian pada Ibu, sudah 12 tahun ia merantau di negeri orang hanya untuk menghidupi kedua anak nakalnya ini.
"Sudah saatnya kau pulang bu, sudah saatnya kau menikmati hari tuamu disisi anak-anakmu" batinku menangis diikuti peluh yang terus menetes.

"Dik, ini adalah uang yang aku kumpulkan ditambah pesangonku, semoga ini bisa jadi modal untuk kita buka usaha kecil-kecilan, sembari menjaga ibu dihari tuanya" 

"Iya kak. kata ibu, beliau akan pulang bulan depan, dia juga mengatakan kalau sudah mulai lelah bekerja, sering sakit-sakitan dan ingin menikmati hari tuanya bersama kita" Adikku juga ikut menangis.



Malang, 22 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar